Friday, June 7, 2013

Pembakuan Bahasa



A.      Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku dan bahasa nonbaku, berarti membicarakan tentang variasi bahasa, karena yang disebut bahasa baku adalah salah satu variasi bahasa yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Keputusan untuk memilih dan mengangkat salah satu ragam bahasa, baik ragam regional maupun sosial, merupakan keputusan yang bersifat politis, sosial, dan linguistis. Disebut keputusan politis karena menyangkut strategi politik yang berkaitan dengan kehidupan banga dan negara secara nasional di masa – masa mendatang. Disebut keputusan sosial karena ragam yang dipilih itu pada mulanya hanyalah digunakan oleh satu kelompok anggota masyarakat tutur, yang kelak akan menjadi alat komunikasi dalam status sosial yang lebih tinggi, yaitu dalam situasi komunikasi yang bersifat resmi kenegaraan, padahal ragam – ragam lain tetap digunakan dalam kelompok – kelompok sosial yang tidak bersifat resmi kenegaraan. Disebut keputusan linguistik karena ragam yang dipilih menjadi ragam bahasa baku itu harus mempunyai dan memenuhi persyaratan – persyaratan linguistik tertentu. Artinya dilihat dari segi linguistik ragam bahasa mempunyai kepadaan dalam hal tata bunyi, tata bentukan (morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata kata (leksikon). Jika ragam yang dipilh itu tidak mempunyai kepadaa dalam hal – hal tersebut, tentu ragam itu kelak sukar digunakan untuk komunikasi resmi itu.
Penyebutan nama atau pemberian nama terhadap suatu bahasa menjadi bahasa nasional, bahasa pemersatu, bahasa negara, dan juga bahasa tinggi adalah penamaan bahasa sebagai langue, sebagai kode secara utuh keseluruhan padahal penamaan bahasa baku adalah penamaan terhadap salah satu ragam dari sejumlah ragam yang ada dalam suatu bahasa. Oleh karena itu penamaan yang lebih tepat adalah ragam bahasa baku atau bahasa ragam baku. Jadi, penamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, atau bahasa persatuan, adalah penamaan terhadap keseluruhan bahasa Indonesia sebagai sebuah langue dengan segala macam ragam dan variasinya. Sedangkan bahasa Indonesia baku hanyalah salah satu ragam dari sekian banyak ragam bahasa Indonesia yang ada, yang hanya digunakan dalam situasi resmi kenegaraan.
Ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang sama dengan resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, termasuk kedalam pendidikan, dalam buku pelajaran, dalam undang – undang dan sebagainya. Tetapi sebenarnya bahasa baku pun ada pada tingkat kedaerahan. Bahasa bali seperti dilaporkan Jendra (1981), bahasa sunda seperti dilaporkan Widjajakusuma (1981), mempunyai ragam bahasa baku. Begitu juga dengan bahasa jawa, bahasa jawa telah mempunyai Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa yang di susun oleh Sudaryanto, dkk (1991). Fungsi penggunaannya sama yaitu untuk komunikasi yang bersifat resmi dalam lingkup kedaerahan.
Pengertian bahasa baku menurut beberapa pakar. Halim (1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakainya sebagai resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa baku. Sebagai kerangka rujukan, ragam baku ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar atau tidaknya penggunaan bahasa. Dittmar (1976 : 8) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam ujaran dari suatu masyarakat bahasa yang di sahkan sebagai norma keharusan bagi pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang dominan di dalam itu. Tindakan pengesahan norma dilakukan melalui pertimbangan nilai yang bermotivasi sosiopolitik. Menurut J.S. Badudu pembakuan atau standardisasi adalah penetapan aturan-aturan atau norma-norma bahasa. Berdasarkan bahasa yang dipakai oleh masyarakat, ditetapkan pola-pola yang berlaku pada bahasa itu. Pola yang dipilih itulah yang dijadikan acuan. Bila kita akan membentuk kata atau menyusun kalimat, maka bentukan itu haruslah mengacu pada pola bahasa yang sudah ditetapkan.
Hartmann dan Stork (1972:218) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi, sering kali lebih berdasarkan pada ujaran orang – orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan atau politik suatu masyarakat tutur. Sedangkan Pei dan Geynor (1954:203) mengatakan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek – dialek lainnya, dan di sepakati penutur dialek – dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.
  
B.       Fungsi dan Ciri Bahasa Baku
Selain fungsi penggunaanya untuk situasi-situasi resmi, ragam bahasa baku menurut Gravin dan Mathiot (1956:785-787) juga mempunyai fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemisah, (3) fungsi harga diri dan (4) fungsi kerangka acuan.
Fungsi pemersatu (the unifying function) adalah kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan perbedaan variasi dalam masyarakat dan membuat terciptanya kesatuan masyarakat tutur dalam bentuk minimal, memperkecil adanya perbedaan variasi dialectal dan menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
Fungsi pemisah (separatist function) adalah bahwa ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau membedakan pengunaan ragam bahasa tersebut untuk situasi yang formal dan yang tidak formal.
Fungsi pemberi kekhasan yang adalah membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Misalnya bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu Singapura dan Brunei Darussalam. Dengan kata lain, bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau, Johor yang menjadi induknya.
Fungsi harga diri (prestige function) adalah bahwa pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga diri yang lebih tinggi daripada yang tidak menggunakannya sebab ragam bahasa baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan hidup sehari-hari. Ragam bahasa baku hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal, yang tidak menguasai ragam baku tentu tidak dapat masuk ke dalam situasi-situasi formal, dimana ragam baku itu harus digunakan.
Fungsi kerangka acuan (frame of reference function) adalah bahwa ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolok ukur untuk norma pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Kelima fungsi akan dapat dilakukan oleh ragam bahasa baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting, yaitu (1) memiliki ciri kemantapan dinamis, (2) memiliki ciri kecendekiawan, dan (3) memiliki ciri kerasional. Ketiga ciri ini bukan merupakan sesuatu yang sudah tersedia di dalm kode bahasa itu, melainkan harus diusahakan keberadaannya melalui usaha yang terus-menerus yang harus dilakukan dan tidak terlepas dari rangkaian kegiatan perencanaan bahasa.
Ciri kemantapan yang dinamis, wujudnya yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Namun, kemantapan kaidah itu cukup luwes sehingga dapat menerima kemungkinan perubahan dan perekembangan yang bersistem baik di bidang kaidah gramatikal maupun di bidang kosakata, peristilahan, dan berbagai ragam gaya di bidang semantik dan sintaksis. Ciri kemantapan ini dapat diusahakan dengan melakukan kodifikasi bahasa terhadap dua aspek yang penting, yaitu (1) bahasa menurut situasi pemakai dan pemakainanya; dan (2) berkenaan dengan strukturnya sebagai suatu sistem komunikasi. Kaidah-kaidah tersebut ersifat dinamis artinya, mempunyai kemungkinan untuk berubah dalam jangka waktu tertentu, sebab secara teoritis tidak ada bahasa yang statis. Bahasa itu akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat penutur bahasa itu.
Ciri kecendekiaan bahasa baku harus diupayakan agar bahasa itu dapat digunakan untuk membicarakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan modern.Kecendekiaan ini dapat dilakukan dengan memperkaya kosakata dalam segala bidang kegiatan dan keilmuan.
Ciri kerasionalan bahasa harus tampak dalam penggunaan bahasa, baik di bidang kosakata maupun struktur. Kerasionalan bahasa baku ini sangat tergantung pada kecendikiaan penutur untuk menyusun secara logika untuk diterima isinya.


C.    Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1957:2) mengatakan, bahwa pada umumnya yang layak dianggap baku ialah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya. Termasuk didalamnya para penjabat negara, para guru, warga media massa, alim ulama, dan cendekiawan.
Dasar kriteria  yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam bahasa baku, antara lain (1)otoritas, (2) bahasa-bahasa penulis terkenal, (3) demokrasi, (4) logika, (5) bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam masyarakat.
Dasar otoritas, maksudnya, penentuan baku atau tidak baku berdasar pada kewenangan orang yang diangap ahli, atau pada kewenangan orang yang dianggap ahli, atau pada kewenangan buku tata bahasa kamus. Dasar otoritas ini diajukan karena pada umumnya manusia bekum puas bahwa yang dikerjakannya atau yang dikatakannya itu benar. Maka dia akan bertanya kepada guruatau kepada orang yang dianggap pandai, atau kepada buku pegangan yang ada. Dalam hal masalah bahasa tentu kepada guru bahsa atau ahli bahasa, atau kepada buku tata bahasa atau kamus. Otoritas orang dan buku tata bahasa atau kamus boleh saja digunakan asal saja pemikiran orang yang ditanya, dan buku-buku yang digunakan masih sesuai dengan kenyataan sekarang.
Dasar bahasa penulis-penulis terkenal, maksudnya, seperti dikatakan Alisjahbana (dalam Robin 1971) bahwa bahasa dari penulis terkenal sebaiknya digunakan untuk menjadi patokan bahasa yang baik. Tetapi terdapat kelemahan bahasa para penulis terkenal yang dijadikan bahasa baku. Pertama, bahasa penulis lebih banyak menggunakan bahasa tulis sedangkan komunikasi sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa lisan. Kedua, tidak ada yang menjamin penulis-penulis terkenal menguasai aturan tata bahasa dengan baik. Ketiga, penulis-penulis terkenal itu berada pada zaman yang lalu  yang bahasanya mungkin sudah tidak sesuai dengan bahasa sekarang.
Dasar demokrasi memang baik untuk menentukan keputusan-keputusan politisi, tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan keputusa-keputusan kebahsaan. Sejarah telah membuktikan, dalam pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia ternyata dasar demokrasi seperti itu tidak digunakan, meskipun penutur bahasa Jawa jauh lebih banyak, namun yang dipilih menjadi bahasa Indonesiaadalah bahasa Melayu, yang jumlah penuturnya lebih sedikit.
Dasar logika, maksudnya, dalam penentuan bahasa baku dan tidak baku digunakan pemikiran logika, bisa diterima akal atau tidak. Tampaknya dasar logika tidak dapat digunakan untuk menentukan kebakuan bahasa, sebab seringkali benar dan tidak benar strktur bahasa tidak sesuai dengan pemikiran logika.
Dasar bahasa orang-orang terkemuka dalam masyarakat sejalan dengan konsep Moeliono (1975:2), maksudya, penentuan baku tidaknya suatu bentuk bahasa didasarkan pada bahasa orang-orang terkemuka seperti pemimpin, wartawan, pengarang, guru, dan sebagainya.
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia ada pada Lembaga Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Pusat Bahasa). Maka daam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah seharusnya lembaga ini mencari dan mengumulkan data, menganalisis, mengatur, dan menyusun kaidah-kaidah lalu menyebarluaskannya kepada masyarakat luas.   
Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai sarana, antara lain :
1.    Pendidikan, kiranya jalur pendidikan formal merupakan salah satu sarana yang paling tepat untuk “menghidupkan”  eksistensi bahasa baku. Pendidikan, sebagai situasi formal, bukan hanya membutukan penggunaan bahasa baku, tetapi juga merupakan tempat untuk menyebarkan pengembangan dan penyebaran bahasa baku.
2.    Industri buku, tiadanya industri buku berarti juga menghambat pengembangan dan penyebaran bahasa baku, sebab melalui bukulah ragam bahasa baku (tulis) dapat ditampilkan. Kalau industri buku lebih berkembang, maka berarti juga proses pembakuan bahasa akan lebih tercapai.
3.    Perpustakaan, adanya perpustakaan dengan jumlah buku yang tersedia cukup banyak akan mempercepat proses pembakuan bahasa. Tiadanya perpustakaan berarti hilangnya kesempatan banyak orang untuk menggunakan bahsa baku. Penyebaran dan pengembangan bahasa baku tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perpustakaan.
4.    Administrasi Negara, kelangsungan eksistensi bahasa baku dapat terjamin dengan adanya administrasi Negara yang rapi, tertib , dan teratur.
5.    Media massa, surat kabar dan majalah merupakan sarana bacaan yang paling banyak mendekati masyarakat. Maka tersedianya media massa baik tulis maupun elektronik akan emnjamin tercapainya pembakuan bahasa degan lebih luas.
6.    Tenaga, pembakuan bahasa juga memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebahsaan. Tiadanya atau kurangnya tenaga kebahasaan ini akan menyulitkan proses pembakuan bahasa. Maka alangkah baiknya bila pada tempat-tempat tertentu tersedia tenaga kebahsaan ini seingga masyarakat yang memerlukan informasi kebahsaan dapat dipermudah dengan keberadaan mereka.
7.    Penelitian, tanpa adanya penelitian yang terus-menerus dibidang kebasaan (tentunya harus dilakukan secara profesional) usaha pengembangan dan pembakuan bahasa tidak akan mencapai kemajuan.

D.      Bahasa Indonesia Baku
Memilih salah satu ragam bahasa Indonesia untuk dijadikan ragam baku dan mengolahnya agar ragam tersebut memiliki ciri kemantapan yang dinamis, memiliki ciri kecendekiaan, dan memiliki ciri kerasionalan, maka tindakan pembakuan itu harus dikenakan pada semua tataran tingkat bahasa, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Tentunya proses pengolahan itu harus dilakukan terus menerus selama bahasa itu digunakan.
Secara resmi fonem – fonem bahasa Indonesia telah di tentukan keberadaannya tetapi mengenai lafalnya atau ucapannya belum pernah dilakukan pembakuan. Namun, ada semacam konsesnsus yang rumusannya berbentuk negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia yang benar adalah lafal yang tidak lagi menampakkan ciri – ciri bahasa daerah. Lafal para penyiar RRI dan TVRI telah dapat dianggap memenuhi kriteria sebagai lafal baku bahasa Indonesia. Kalau lafal penyiar RRI dan TVRI sudah dapat dianggap baku, maka bisa kita bandingkan bentuk lafal yang baku dan yang tidak baku.
Pembakuan dalam bidang ejaan telah selesai dilakukan untuk bahsa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan Suwandi atau ejaan republic pada tahun 1937, lalu diteruskan dengan penyempurnaannya dengan ditetapkannya Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) pada tahun 1976.  Yang menarik adalah bahwa EYD juga berlaku untuk bahasa Malaysia di Malaysia dan bahasa Melayu di Brunei Darussalam.
Yang diatur di dalam ejaan adalah cara menggunakan huruf, cara penulisan kata dasar, kata ulang, kata gabung, cara penulisan kalimat dan juga cara penulisan unsur-unsur serapan. Berikut ini contoh penulisan bentuk kata yang baku dan tidak baku.

                        Bentuk baku                                      Bentuk tidak baku
            Administratif                                       administratip
            Ahli                                                     akhli
            Anarki                                                             anarkhi
            Anggota                                              anggauta
            Doa                                                      do’a

Berikut ini contoh bentuk-bentuk baku secara gramatikal.
                        Bentuk baku                                      Bentuk tidak baku
            Kuliah sudah berjalan dengan baik.    Kuliah sudah jalan dengan baik
            Bapak Cahyono pergi ke Surabaya.    Bapak Cahyono ke Surabaya
            Surat Saudara sudah saya baca.          Surat Saudara saya sudah baca
            Harganya cukup mahal.                       Dia punya harga cukup mahal
            Mengapa kamu tidak datang?             Kenapa kamu enggak datang?

       Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Kebakuan unsur leksikal dapat dilihat dari ejaan, lafal, bentuk, dan sumber pengambilannya. Kebakuan menurut bentuk misalnya, tetapi dan begitu adalah bentuk yang baku, sedangkan tapi dan gitu adalah bentuk yang tidak baku. Kebakuan kosakata menurut sumber pengambilannya adalah disebut tidak baku kalau kosakata itu adalah kosakata bahasa daerah atau jelas-jelas bukan kosakata baku.
       Berkenaan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis serta adanya derajat kebakuan, maka Halim (1980) menyatakan perlu dibedakannya ragam baku lisan dan ragam baku tulis. Lalu, perlu pula dibedakan adanya ragam baku lisan nasional dan ragam bahasa baku daerah, sehubungan dengan sangat sukarnya menentukan kebakuan ragam lisan. Sedangkan ragam baku tulis yang ada hanya ragam baku tulis nasional sebab pemabakuan ragam baku tulis itu lebih mudah.

No comments:

Post a Comment