A.
Bahasa Baku
Berbicara tentang bahasa baku dan bahasa nonbaku,
berarti membicarakan tentang variasi bahasa, karena yang disebut bahasa baku
adalah salah satu variasi bahasa yang diangkat dan disepakati sebagai ragam
bahasa yang akan dijadikan tolok ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam
komunikasi yang bersifat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Keputusan
untuk memilih dan mengangkat salah satu ragam bahasa, baik ragam regional
maupun sosial, merupakan keputusan yang bersifat politis, sosial, dan linguistis.
Disebut keputusan politis karena menyangkut strategi politik yang berkaitan dengan
kehidupan banga dan negara secara nasional di masa – masa mendatang. Disebut
keputusan sosial karena ragam yang dipilih itu pada mulanya hanyalah digunakan
oleh satu kelompok anggota masyarakat tutur, yang kelak akan menjadi alat
komunikasi dalam status sosial yang lebih tinggi, yaitu dalam situasi
komunikasi yang bersifat resmi kenegaraan, padahal ragam – ragam lain tetap
digunakan dalam kelompok – kelompok sosial yang tidak bersifat resmi
kenegaraan. Disebut keputusan linguistik karena ragam yang dipilih menjadi
ragam bahasa baku itu harus mempunyai dan memenuhi persyaratan – persyaratan linguistik
tertentu. Artinya dilihat dari segi linguistik ragam bahasa mempunyai kepadaan
dalam hal tata bunyi, tata bentukan (morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan
tata kata (leksikon). Jika ragam yang dipilh itu tidak mempunyai kepadaa dalam
hal – hal tersebut, tentu ragam itu kelak sukar digunakan untuk komunikasi
resmi itu.
Penyebutan nama atau pemberian nama terhadap suatu
bahasa menjadi bahasa nasional, bahasa pemersatu, bahasa negara, dan juga
bahasa tinggi adalah penamaan bahasa sebagai langue, sebagai kode secara
utuh keseluruhan padahal penamaan bahasa baku adalah penamaan terhadap salah
satu ragam dari sejumlah ragam yang ada dalam suatu bahasa. Oleh karena itu
penamaan yang lebih tepat adalah ragam bahasa baku atau bahasa ragam baku.
Jadi, penamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, atau
bahasa persatuan, adalah penamaan terhadap keseluruhan bahasa Indonesia sebagai
sebuah langue dengan segala macam ragam dan variasinya. Sedangkan bahasa
Indonesia baku hanyalah salah satu ragam dari sekian banyak ragam bahasa
Indonesia yang ada, yang hanya digunakan dalam situasi resmi kenegaraan.
Ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang sama dengan
resmi kenegaraan yang digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, termasuk
kedalam pendidikan, dalam buku pelajaran, dalam undang – undang dan sebagainya.
Tetapi sebenarnya bahasa baku pun ada pada tingkat kedaerahan. Bahasa bali
seperti dilaporkan Jendra (1981), bahasa sunda seperti dilaporkan Widjajakusuma
(1981), mempunyai ragam bahasa baku. Begitu juga dengan bahasa jawa, bahasa
jawa telah mempunyai Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa yang di susun oleh
Sudaryanto, dkk (1991). Fungsi penggunaannya sama yaitu untuk komunikasi yang
bersifat resmi dalam lingkup kedaerahan.
Pengertian bahasa baku menurut beberapa pakar. Halim
(1980) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang dilembagakan dan
diakui oleh sebagian warga masyarakat pemakainya sebagai resmi dan sebagai
kerangka rujukan norma bahasa baku. Sebagai kerangka rujukan, ragam baku
ditandai oleh norma dan kaidah yang digunakan sebagai pengukur benar atau
tidaknya penggunaan bahasa. Dittmar (1976 : 8) mengatakan bahwa bahasa baku
adalah ragam ujaran dari suatu masyarakat bahasa yang di sahkan sebagai norma
keharusan bagi pergaulan sosial atas kepentingan dari berbagai pihak yang
dominan di dalam itu. Tindakan pengesahan norma dilakukan melalui pertimbangan
nilai yang bermotivasi sosiopolitik. Menurut J.S. Badudu pembakuan atau
standardisasi adalah penetapan aturan-aturan atau norma-norma bahasa.
Berdasarkan bahasa yang dipakai oleh masyarakat, ditetapkan pola-pola yang
berlaku pada bahasa itu. Pola yang dipilih itulah yang dijadikan acuan. Bila
kita akan membentuk kata atau menyusun kalimat, maka bentukan itu haruslah
mengacu pada pola bahasa yang sudah ditetapkan.
Hartmann dan Stork (1972:218) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi, sering kali lebih berdasarkan pada ujaran orang – orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan atau politik suatu masyarakat tutur. Sedangkan Pei dan Geynor (1954:203) mengatakan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek – dialek lainnya, dan di sepakati penutur dialek – dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.
Hartmann dan Stork (1972:218) mengatakan bahwa bahasa baku adalah ragam bahasa yang secara sosial lebih digandrungi, sering kali lebih berdasarkan pada ujaran orang – orang yang berpendidikan di dalam dan di sekitar pusat kebudayaan dan atau politik suatu masyarakat tutur. Sedangkan Pei dan Geynor (1954:203) mengatakan bahwa bahasa baku adalah dialek suatu bahasa yang memiliki keistimewaan sastra dan budaya melebihi dialek – dialek lainnya, dan di sepakati penutur dialek – dialek lain sebagai bentuk bahasa yang paling sempurna.
B.
Fungsi dan Ciri Bahasa
Baku
Selain fungsi penggunaanya untuk situasi-situasi resmi,
ragam bahasa baku menurut Gravin dan Mathiot (1956:785-787) juga mempunyai
fungsi lain yang bersifat sosial politik, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2)
fungsi pemisah, (3) fungsi harga diri dan (4) fungsi kerangka acuan.
Fungsi pemersatu (the
unifying function) adalah kesanggupan bahasa baku untuk menghilangkan
perbedaan variasi dalam masyarakat dan membuat terciptanya kesatuan masyarakat
tutur dalam bentuk minimal, memperkecil adanya perbedaan variasi dialectal dan
menyatukan masyarakat tutur yang berbeda dialeknya.
Fungsi pemisah (separatist
function) adalah bahwa ragam bahasa baku itu dapat memisahkan atau
membedakan pengunaan ragam bahasa tersebut untuk situasi yang formal dan yang
tidak formal.
Fungsi pemberi kekhasan yang adalah membedakan bahasa
itu dari bahasa yang lain. Misalnya bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa
Malaysia atau bahasa Melayu Singapura dan Brunei Darussalam. Dengan kata lain,
bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau, Johor
yang menjadi induknya.
Fungsi harga diri (prestige
function) adalah bahwa pemakai ragam baku itu akan memiliki perasaan harga
diri yang lebih tinggi daripada yang tidak menggunakannya sebab ragam bahasa
baku biasanya tidak dapat dipelajari dari lingkungan keluarga atau lingkungan
hidup sehari-hari. Ragam bahasa baku hanya dapat dicapai melalui pendidikan
formal, yang tidak menguasai ragam baku tentu tidak dapat masuk ke dalam
situasi-situasi formal, dimana ragam baku itu harus digunakan.
Fungsi kerangka acuan (frame of reference function)
adalah bahwa ragam bahasa baku itu akan dijadikan tolok ukur untuk norma
pemakaian bahasa yang baik dan benar secara umum.
Kelima fungsi akan dapat dilakukan oleh ragam bahasa
baku kalau ragam bahasa baku itu telah memiliki tiga ciri yang sangat penting,
yaitu (1) memiliki ciri kemantapan dinamis, (2) memiliki ciri kecendekiawan,
dan (3) memiliki ciri kerasional. Ketiga ciri ini bukan merupakan sesuatu yang
sudah tersedia di dalm kode bahasa itu, melainkan harus diusahakan
keberadaannya melalui usaha yang terus-menerus yang harus dilakukan dan tidak
terlepas dari rangkaian kegiatan perencanaan bahasa.
Ciri kemantapan yang dinamis, wujudnya yang berupa
kaidah dan aturan yang tetap. Namun, kemantapan kaidah itu cukup luwes sehingga
dapat menerima kemungkinan perubahan dan perekembangan yang bersistem baik di
bidang kaidah gramatikal maupun di bidang kosakata, peristilahan, dan berbagai
ragam gaya di bidang semantik dan sintaksis. Ciri kemantapan ini dapat
diusahakan dengan melakukan kodifikasi bahasa terhadap dua aspek yang penting,
yaitu (1) bahasa menurut situasi pemakai dan pemakainanya; dan (2) berkenaan
dengan strukturnya sebagai suatu sistem komunikasi. Kaidah-kaidah tersebut
ersifat dinamis artinya, mempunyai kemungkinan untuk berubah dalam jangka waktu
tertentu, sebab secara teoritis tidak ada bahasa yang statis. Bahasa itu akan
selalu berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan budaya yang terjadi
pada masyarakat penutur bahasa itu.
Ciri kecendekiaan bahasa baku harus diupayakan agar
bahasa itu dapat digunakan untuk membicarakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kehidupan modern.Kecendekiaan ini dapat dilakukan dengan memperkaya kosakata
dalam segala bidang kegiatan dan keilmuan.
Ciri kerasionalan bahasa harus tampak dalam penggunaan
bahasa, baik di bidang kosakata maupun struktur. Kerasionalan bahasa baku ini
sangat tergantung pada kecendikiaan penutur untuk menyusun secara logika untuk
diterima isinya.
C.
Pemilihan Ragam Baku
Moeliono (1957:2) mengatakan, bahwa pada umumnya yang
layak dianggap baku ialah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan
masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar kewibawaannya.
Termasuk didalamnya para penjabat negara, para guru, warga media massa, alim
ulama, dan cendekiawan.
Dasar kriteria
yang dapat digunakan untuk menentukan atau memilih sebuah ragam bahasa
baku, antara lain (1)otoritas, (2) bahasa-bahasa penulis terkenal, (3)
demokrasi, (4) logika, (5) bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka dalam
masyarakat.
Dasar otoritas, maksudnya, penentuan baku atau tidak
baku berdasar pada kewenangan orang yang diangap ahli, atau pada kewenangan
orang yang dianggap ahli, atau pada kewenangan buku tata bahasa kamus. Dasar
otoritas ini diajukan karena pada umumnya manusia bekum puas bahwa yang
dikerjakannya atau yang dikatakannya itu benar. Maka dia akan bertanya kepada
guruatau kepada orang yang dianggap pandai, atau kepada buku pegangan yang ada.
Dalam hal masalah bahasa tentu kepada guru bahsa atau ahli bahasa, atau kepada
buku tata bahasa atau kamus. Otoritas orang dan buku tata bahasa atau kamus
boleh saja digunakan asal saja pemikiran orang yang ditanya, dan buku-buku yang
digunakan masih sesuai dengan kenyataan sekarang.
Dasar bahasa penulis-penulis terkenal, maksudnya,
seperti dikatakan Alisjahbana (dalam Robin 1971) bahwa bahasa dari penulis
terkenal sebaiknya digunakan untuk menjadi patokan bahasa yang baik. Tetapi
terdapat kelemahan bahasa para penulis terkenal yang dijadikan bahasa baku. Pertama, bahasa penulis lebih banyak
menggunakan bahasa tulis sedangkan komunikasi sehari-hari lebih banyak
menggunakan bahasa lisan. Kedua,
tidak ada yang menjamin penulis-penulis terkenal menguasai aturan tata bahasa
dengan baik. Ketiga, penulis-penulis
terkenal itu berada pada zaman yang lalu
yang bahasanya mungkin sudah tidak sesuai dengan bahasa sekarang.
Dasar demokrasi memang baik untuk menentukan
keputusan-keputusan politisi, tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan
keputusa-keputusan kebahsaan. Sejarah telah membuktikan, dalam pemilihan bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia ternyata dasar demokrasi seperti itu tidak
digunakan, meskipun penutur bahasa Jawa jauh lebih banyak, namun yang dipilih
menjadi bahasa Indonesiaadalah bahasa Melayu, yang jumlah penuturnya lebih
sedikit.
Dasar logika, maksudnya, dalam penentuan bahasa baku dan
tidak baku digunakan pemikiran logika, bisa diterima akal atau tidak. Tampaknya
dasar logika tidak dapat digunakan untuk menentukan kebakuan bahasa, sebab
seringkali benar dan tidak benar strktur bahasa tidak sesuai dengan pemikiran
logika.
Dasar bahasa orang-orang terkemuka dalam masyarakat
sejalan dengan konsep Moeliono (1975:2), maksudya, penentuan baku tidaknya
suatu bentuk bahasa didasarkan pada bahasa orang-orang terkemuka seperti
pemimpin, wartawan, pengarang, guru, dan sebagainya.
Dewasa ini otoritas untuk pembakuan bahasa Indonesia ada
pada Lembaga Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Pusat Bahasa). Maka daam proses pembakuan bahasa Indonesia sudah
seharusnya lembaga ini mencari dan mengumulkan data, menganalisis, mengatur, dan
menyusun kaidah-kaidah lalu menyebarluaskannya kepada masyarakat luas.
Usaha pembakuan bahasa, sebagai salah satu usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan
dari berbagai sarana, antara lain :
1.
Pendidikan, kiranya jalur
pendidikan formal merupakan salah satu sarana yang paling tepat untuk
“menghidupkan” eksistensi bahasa baku.
Pendidikan, sebagai situasi formal, bukan hanya membutukan penggunaan bahasa
baku, tetapi juga merupakan tempat untuk menyebarkan pengembangan dan
penyebaran bahasa baku.
2.
Industri buku, tiadanya
industri buku berarti juga menghambat pengembangan dan penyebaran bahasa baku,
sebab melalui bukulah ragam bahasa baku (tulis) dapat ditampilkan. Kalau
industri buku lebih berkembang, maka berarti juga proses pembakuan bahasa akan
lebih tercapai.
3.
Perpustakaan, adanya
perpustakaan dengan jumlah buku yang tersedia cukup banyak akan mempercepat
proses pembakuan bahasa. Tiadanya perpustakaan berarti hilangnya kesempatan
banyak orang untuk menggunakan bahsa baku. Penyebaran dan pengembangan bahasa
baku tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perpustakaan.
4.
Administrasi Negara,
kelangsungan eksistensi bahasa baku dapat terjamin dengan adanya administrasi
Negara yang rapi, tertib , dan teratur.
5.
Media massa, surat kabar dan
majalah merupakan sarana bacaan yang paling banyak mendekati masyarakat. Maka
tersedianya media massa baik tulis maupun elektronik akan emnjamin tercapainya
pembakuan bahasa degan lebih luas.
6.
Tenaga, pembakuan bahasa juga
memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebahsaan. Tiadanya
atau kurangnya tenaga kebahasaan ini akan menyulitkan proses pembakuan bahasa.
Maka alangkah baiknya bila pada tempat-tempat tertentu tersedia tenaga
kebahsaan ini seingga masyarakat yang memerlukan informasi kebahsaan dapat
dipermudah dengan keberadaan mereka.
7.
Penelitian, tanpa adanya
penelitian yang terus-menerus dibidang kebasaan (tentunya harus dilakukan
secara profesional) usaha pengembangan dan pembakuan bahasa tidak akan mencapai
kemajuan.
D.
Bahasa Indonesia Baku
Memilih salah satu ragam
bahasa Indonesia untuk dijadikan ragam baku dan mengolahnya agar ragam tersebut
memiliki ciri kemantapan yang dinamis, memiliki ciri kecendekiaan, dan memiliki
ciri kerasionalan, maka tindakan pembakuan itu harus dikenakan pada semua
tataran tingkat bahasa, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantik. Tentunya proses pengolahan itu harus dilakukan terus menerus selama
bahasa itu digunakan.
Secara resmi fonem –
fonem bahasa Indonesia telah di tentukan keberadaannya tetapi mengenai lafalnya
atau ucapannya belum pernah dilakukan pembakuan. Namun, ada semacam konsesnsus
yang rumusannya berbentuk negatif, bahwa yang disebut lafal bahasa Indonesia
yang benar adalah lafal yang tidak lagi menampakkan ciri – ciri bahasa daerah.
Lafal para penyiar RRI dan TVRI telah dapat dianggap memenuhi kriteria sebagai
lafal baku bahasa Indonesia. Kalau lafal penyiar RRI dan TVRI sudah dapat
dianggap baku, maka bisa kita bandingkan bentuk lafal yang baku dan yang tidak
baku.
Pembakuan dalam bidang
ejaan telah selesai dilakukan untuk bahsa Indonesia. Pembakuan ejaan ini telah
melalui proses yang cukup panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan Van
Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan perbaikannya yang disebut ejaan
Suwandi atau ejaan republic pada tahun 1937, lalu diteruskan dengan
penyempurnaannya dengan ditetapkannya Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(EYD) pada tahun 1976. Yang menarik
adalah bahwa EYD juga berlaku untuk bahasa Malaysia di Malaysia dan bahasa
Melayu di Brunei Darussalam.
Yang diatur di dalam
ejaan adalah cara menggunakan huruf, cara penulisan kata dasar, kata ulang,
kata gabung, cara penulisan kalimat dan juga cara penulisan unsur-unsur
serapan. Berikut ini contoh penulisan bentuk kata yang baku dan tidak baku.
Bentuk
baku Bentuk
tidak baku
Administratif administratip
Ahli akhli
Anarki anarkhi
Anggota anggauta
Doa do’a
Berikut ini contoh
bentuk-bentuk baku secara gramatikal.
Bentuk
baku Bentuk
tidak baku
Kuliah sudah berjalan dengan
baik. Kuliah sudah jalan dengan baik
Bapak Cahyono pergi ke Surabaya. Bapak Cahyono ke Surabaya
Surat Saudara sudah saya baca. Surat Saudara saya sudah baca
Harganya cukup mahal. Dia
punya harga cukup mahal
Mengapa kamu tidak datang? Kenapa kamu enggak datang?
Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan
peristilahan juga telah lama dilakukan. Kebakuan unsur leksikal dapat dilihat
dari ejaan, lafal, bentuk, dan sumber pengambilannya. Kebakuan menurut bentuk
misalnya, tetapi dan begitu adalah bentuk yang baku, sedangkan tapi
dan gitu adalah bentuk yang tidak baku. Kebakuan kosakata menurut sumber
pengambilannya adalah disebut tidak baku kalau kosakata itu adalah kosakata
bahasa daerah atau jelas-jelas bukan kosakata baku.
Berkenaan dengan adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa
tulis serta adanya derajat kebakuan, maka Halim (1980) menyatakan perlu
dibedakannya ragam baku lisan dan ragam baku tulis. Lalu, perlu pula dibedakan
adanya ragam baku lisan nasional dan ragam bahasa baku daerah, sehubungan
dengan sangat sukarnya menentukan kebakuan ragam lisan. Sedangkan ragam baku
tulis yang ada hanya ragam baku tulis nasional sebab pemabakuan ragam
baku tulis itu lebih mudah.
No comments:
Post a Comment